Jakarta, 18 Agustus 2012.
Hari ini adalah hari terakhir puasa Ramadhan 1433 Hijriah.
Sebelum tangan ini mulai membuka laptop untuk menulis blog entry ini, tiba-tiba pikiran saya melayang pada awal Ramadhan tiga tahun lalu.
Di hari pertama puasa itu, tanpa saya sadari tiba-tiba saya menangis. Bukan menangis keras dengan jeritan dan sedu sedan, tetapi menangis dengan rembesan air mata pelan-pelan mengalir di pipi tanpa saya sedari, sebelum pelan-pelan terisak lirih.
Tangisan itu adalah tangisan atas pikiran saya yang tanpa kontrol langsung lepas landas dan menyadari bahwa saat itu adalah puasa pertama saya sebagai seorang lajang.
Beberapa bulan sebelumnya, saya dan mantan pacar memutuskan untuk berpisah setelah menjalin hubungan cukup lama. Dari semua tanggal yang saya antisipasi agar tidak terlalu bersedih, seperti tanggal ulang tahun, tanggal jadian, tanggal putus, tanggal kencan pertama, tanggal liburan pertama dan lain-lain, ternyata tanggal tidak tetap yang dinamakan 1 Ramadhan terlewat dari check-list itu.
Saya kaget ketika menyadari hal ini. Kekagetan yang berujung pada tangisan yang saat itu membuat saya lemas dan menghentikan semua kegiatan yang saya lakukan saat itu, dan bersandar lunglai di kasur.
Saya tersadar, bahwa selama ini, ada orang lain yang mengingatkan saya sahur dengan caranya sendiri, yaitu dia begadang semalaman bekerja, dan mulai tidur ketika saya mulai sahur. Dengan caranya sendiri, kami saling mengingatkan kegiatan masing-masing tanpa mengganggu rutinitas dan kepercayaan satu sama lain. Kebiasaan bertahun-tahun ini tiba-tiba terhenti begitu saja saat kami memutuskan untuk keluar dari hubungan ini dan kehidupan satu sama lain.
Sambil menyisakan sedikit isak tangis, saya meraih telepon genggam saya dan menulis pesan untuk seorang teman, Martha.
“Tha, lagi ngapain? Tha, kok gue tiba-tiba nangis ya ini?”
“Heh? Kenapa elo?”
“Ga tau, Tha. Kayanya gue baru ngeh, kalo ini pertama kali gue puasa sendirian. Meskipun selama ini yang puasa gue doang, tapi ini pertama kalinya gue bener-bener sendirian. Ga ada yang bangunin gue sahur, ga ada yang nyiapin makanan ato nyisain sisa supper. Asli, gue ga nyangka Tha, kok di antara semua tanggal, gue malah ga kepikiran ama awal puasa ini ya? Aduh …”
Cukup lama tidak ada jawaban dari Martha.
Lalu telepon saya berkedip. Jawaban Martha:
“Duh, so sorry to hear that. I know it’s difficult. Any separation of any kind is difficult. You know me, I went through the same thing. Meskipun gue ga ikut puasa ya, tapi sedikit banyak gue tahu gimana elo puasa, karena bokap gue kan puasa. Dan yang gue tahu, bokap tuh selalu bilang gini kurang lebih, “Ibadah elo, niat dan doa elo, itu semuanya kita tujukan buat Tuhan. Kita puasa buat Tuhan, kita sholat buat Tuhan, kita doa khusyuk juga buat Tuhan. Apakah elo sendiri ato ada orang lain, asal elo niatkan semua ibadah elo buat Tuhan, elo akan baik-baik saja, Tha.” Dan gue percaya itu. Gue percaya bokap gue, dan gue percaya apa yang dia omongin, karena itu dia lakuin.”
Jawaban simpel itu membuat gue menghela nafas panjang. Saya lega. Tangisan pun pelan-pelan berhenti. Ada beban besar yang lalu terangkat begitu saja. Saya balas pesan Martha itu dengan lambang senyum, karena saya benar-benar tersenyum saat itu. Beban berat yang menghempas saya beberapa menit yang lalu tiba-tiba terasa ringan, bahkan tak terasa lagi, seiring dengan berjalannya waktu Ramadhan tahun itu yang begitu cepat.
Saking cepatnya, tak terasa waktu sudah membawa saya menulis catatan ini tiga tahun kemudian dari kejadian itu.
Cliche as it may sound, but time does heal wound. Time allows us to ease the pain, forges hatred, accepts state of being, and more importantly, time gives us a chance to forgive and forget.
When “I am sorry” seems to slip off of one’s mind and tongue, thus making it not spoken, perhaps we are not ready to apologize and forgive yet. Most of the time, those aforementioned three words take time to materialize.
The immediate saying of “sorry” carries little to none of importance and seriousness. The true “sorry” matures over time. When the time comes, sometimes we do not realize that we have forgiven the wrongdoings and carried on living as we should be.
I admit, it does take me a great deal of time to finally accept the separation. It is never an easy process. Days of blaming myself carried on for days, weeks, months, and even crossing new year’s eve.
But if you ask me when I can start move on and able to sit and watch films again with my ex, I don’t know. There is never a definite time to flag or to put a mark on. It is a gradual process that, painful as it is, one chooses to embrace.
Thus, on the last day of fasting month, before we easily ask for forgiveness, it is best to forgive ourselves first.
It is the hardest kind, and I have not always succeeded in doing that. As we often think we have finally conquered the conquest, we fall deep to the pit of self pity once again. After all, such is a process taken over time, some take longer time than others.
The end is the beginning of something new. Let self exile be gone for good.
Why?
Because it is a relief to be in love again.
Ste
08/19/2012 at 1:02 am
🙂
Selamat idul fitri ya, val. Mohon maaf lahir dan batin.
nauvalyazid
08/19/2012 at 1:27 am
Enjoy Lebaran festivities, too, Ste!